Asas-Asas
Hukum Pidana
LAMBAR- Ilmu
pengetahuan tent ang hukum pidana (Positif) dapat dikenal beberapa asas yang
sangat penting untuk diketahui, karena dengan asas-asas yang ada itu dapat
membuat suatu hubungan dan susunan agar hukum pidana yang berlaku dapat
dipergunakan secara sistematis, kritis, dan harmonis. Pada hakekatnya dengan
mengenal, menghubungkan, dan menyusun asas di dalam hukum pidana positif itu,
berarti menjalankan hukum secara sistematis, kritis, dan harmonis sesuai dengan
dinamika garis-garis yang ditetapkan dalam politik hukum pidana.Asas-asas hukum
pidana itu dapat digolongkan, Asas yang dirumuskan di dalam KUHP atau perundang-undangan
lainnya.,Asas yang tidak dirumuskan dan menjadi asas hukum pidana yang tidak
tertulis, dan dianut di dalam yurisprudensi. Asas legalitas tercantum di dalam
pasal 1 ayat 1 KUHP. Kalau kata-katanya yang asli di dalam bahasa Belanda
disalin ke dalam bahasa Indonesia kata demi kata, maka akan berbunyi: “ Tiada
suatu perbuatan (Feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan
ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”.Asas legalitas yang
tercantum di dalam pasal 1 ayat 1 KUHP dirumuskan di dalam bahasa Latin:
“Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali”, yang dapat disalin ke
dalam bahasa Indonesia kata demi kata dengan,“
Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang
mendahuluinya”. Sering juga dipakai istilah Latin: “ Nullum crimen sine lege
stricta”, yang dapat disalin kata demi kata pula dengan: “Tidak ada delik tanpa
ketentuan yang tegas”.Ucapan Nullum delictum nulla poena sine praevia lege
berasal dari von Feuerbach, sarjana hukum pidana Jerman (1775-1833).Dialah yang
merumuskannya dalam pepatah latin tadi dalam bukunya,“ Lehrbnuch des pein
leichen recht ” 1801.
Biasanya asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian, yaititu yang pertama,Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.dan yang ke dua, Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.(Kiyas).dan yang ketiga,Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.Asas dasar bahwa hukum pidana tidak berlaku surut sebagaimana tercantum di dalam pasal 1 ayat 1 KUHP dibatasidengan kekecualian yang tercantum di dalam ayat 2 pasal itu. Ayat 2 itu berbunyi,“ Apabila perundang-undangan diubah setelah waktu perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa digunakan ketentuan yang paling menguntungkan baginya ”
.
Mengenai perubahan dalam perundang-undangan, ada tiga macam teori (a). Teori
formil (Formale Leer)(b). Teori materiel terbatas (Beperkte Materiele Leer)(c). Teori materiel yang tidak terbatas (Onbeperkte Materiele Leer).
Menurut teori formil, dikatakan ada perubahan dalam undang-undang kalau redaksi (teks) undang undang diubah. Menurut teori materiel bahwa perubahan dalam perundang-undangan terbatas dalam arti kata pasal 1 ayat 2 KUH Pidana, yaitu tiap perubahan sesuai dengan suatu perubahan perasaan (keyakinan) hukum para pembuat undang-undang. Adapun menurut teori materiel yang tidak terbatas, tiap perubahan adalah mencakup perasaan hukum dari pembuat undang-undang maupun dalam keadaan boleh diterimanya sebagai suatu perubahan dalam undang-undang menurut arti kata pasal 1 ayat 2 KUH Pidana.Perbuatan pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongrit dalam laporan hukum pidana, sehingga perbuatan pidana harus diberi arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan untuk dapat lebih mudah dipahami oleh masyarakat. Menurut Gue. hukum pidana dapat dijadikan sebagai,yang pertama, Suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana bagi siapapun yang melamggarnya.ke dua,Kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan,dan ketiga Perbuatan pidana tidak dihubungkan dengan kesalahan yang merupakan pertanggungjawaban pidana pada orang yang melakukan perbuatan pidana.
Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu terhadap orang yang melanggarnya. Dapat juga dikatakan sebagai perbuatan yang menurut suatu atura hukum dilarang dan diancam hukum pidana. Suatu larangan itu ditujukan kepada perbuatan dimana suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh tingkah laku orang itu sendiri. Sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang-orang yang menimbulkanya.
Adanya perbuatan pidana itu tergantung dari perbuatan yang dirumuskan didalam Undang-undang dinilai sebagai melawan hukum atau tidak. Perbuatan pidana yang menjadi pusat adalah perbuatannya dalam pertanggungjawaban, sebaiknya yang menjadi pusat adalah orangnya yang melakukan perbuatan. Perbuatan pidana dan pertanggungjawaban hukum pidana, hubungannya sangat erat, seperti halnya dengan perbuatan dan orang yang melakukan perbuatan. perbuatan pidana baru mempunyai arti apabila disampingnya adalah pertanggungjawaban, begitu pula sebaliknya. Karena kesalahan adalah unsur pertama, bahkan menjadi syarat mutlak bagi adanya pertanggungjawaban yang berupa pengenaan hukum pidana.
Menurut Gue,perumusan perbuatan pidana dianggap sebagai suatu kejadian yang bersifat intensionil (Suatu Aksi Yang Terlibat Pada Suatu Akibat) misalnya,perbuatan pidana, jika seseorang melanggar larangan membunuh, ketentuan pidana ini adalah sangat tidak sempurna, jika seseorang melakukan tindakan pembunuhan, maka hakim tidak hanya dapat menjatuhkan pidana penjara 15 tahun, tetapi masih dimungkinkan diterapkannya tindakan-tindakan seperti dimasukkan ke rumah sakit jiwa atau menyerahkan kepada pemerintah, apabila dilakukan dengan kesengajaan dan kealpaan.
Perbuatan pidana hanya tertuju kepada sifat perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum dan pertanggungjawaban pidan (kesalahan) menunjuk kepada orang yang melanggar dan dapat dijatuhi pidana sebagaimana diancamkan. Oleh karenanya penuangan di dalam perumusan pasal disesuaikan atau konsisten dengan konstruksi pemikira bahwa yang dilarang oleh aturan hukum adalah perbuatannya, dan yang diancam dengan pidana adalah orang yang melanggar larangan.4.Perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana diatur dalam Bab III KUHP 1982/1983, meliputi,1. Tindak pidana, pasal 13-16.,2.Tindak pidana percobaan, pasal 17.,3. Penyertaan, pasal 18-19.,4. Tindak pidana aduan, pasal 20-23.,5.Alasan-alasan pembenar, pasal 24-26.,6. Pertanggungjawaban pidana, pasal 27.,7. Kesalahan, pasal 28.,8. Kemampuan bertanggung jawab, pasal 29.,9. Kesengajaan dan kealpaan, pasal 31-33.,10. Alasan dan pemaaf, pasal 39-42.,11. Koorporasi, pasal 39-42.5 (Ir/EditorLambar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar